Pantja Sila: Cita-cita & Realita
Sekurang-kurangnya ada tiga film bersejarah yang dianggap mampu
merekam dan mengukuhkan kebangkitan sebuah bangsa, dan sekaligus menjadi bagian
sangat penting dalam sejarah film dunia.
David Llewelyn Wark "D. W." Griffith, telah
menggambarkan proses kelahiran dan perjalanan bangsa dan negara Amerika Serikat
melalui filmnya The Birth of A Nation yang dibuat pada 1915. Film bisu yang
diproduksi dengan biaya US $ 110.000, itu ternyata mampu menghasilkan
keuntungan puluhan juta dolar, dan kini termasuk salah satu dari 100 film
terbesar sepanjang masa. Menggunakan kamera tercanggih pada masanya dan memakai
teknik naratif yang belum pernah dipakai, Griffith memperkenalkan pengambilan
gambar secara close-up untuk mengungkapkan ekspresi para pemainnya. Film itu
menjadi kontroversial karena dianggap sangat rasialistis terhadap warga Kulit
Hitam dan memuji-muji Ku Klux Klan, pada masa perbudakan, Perang Saudara, dan
Rekonstruksi.
Tigabelas tahun sesudah Griffith, Sergei Eisenstein membuat film
bisu October: Ten Days That Shook the World pada 1928. Eisenstein berhasil
mendramatisasi kemenangan Revolusi 17 Oktober di Rusia, yang telah menumbangkan
rezim Tsar, dan dimulainya era sosialisme dan kekuasaan kaum proletar Bolsyewik
di bawah kepemimpinan Vladimir Lenin. Film yang dibuat untuk menandai ulang
tahun kesepuluh Revolusi Oktober, itu dibagi dalam beberapa episode waktu yang
menandai momen-momen paling penting dalam sejarah Uni Soviet.
Bila Griffith melahirkan close-up sebagai bagian dari teknik
narasinya, Eisenstein memperkenalkan apa yang disebut sebagai "montage
intelektual" yang menyunting dan menggabungkan pelbagai objek berbeda,
menjadi metafora baru untuk menggambarkan kesamaan karakter antara satu dan
yang lain, maka tujuh tahun kemudian, sutradara perempuan Leni Riefenstahl
membuat revolusi sinematografis dengan film dokumenternya Triumph of the Will
(Triumph des Willens). Film yang dibuat pada 1935, untuk menggambarkan kejayaan
Naziisme dan kebesaran Fuhrer Jerman Adolf Hitler, itu merekam jalannya Kongres
Nazi di Nuremberg pada 1934, atas permintaan Hitler. Tak aneh bila di situ
ditampilkan pidato para petinggi Nazi dan terutama Adolf Hitler, serta
glorifikasi terhadapnya. Yang menajkubkan, film itu diselang-selingi dengan
footages yang melibatkan sekitar 700 ribu orang dengan latihan berulang-ulang.
Baik yang melibatkan massa penonton, maupun anggota dan pendukung partai Nazi,
terutama pasukan SS dan militer pendukung Hitler.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah sinema, sutradara
Riefenstahl memperkenalkan penggunaan kamera dari udara, kamera bergerak,
kamera jarak jauh, dan ilustrasi musik untuk mendukung seluruh kekuatan dan
magie dari sinematografi. Film yang dinobatkan sebagai film propaganda terbesar
sepanjang sejarah, itu tidak hanya berhasil menggambarkan kejayaan kembali
Jerman Raya, tetapi juga merevolusi industri sinema, dan mengilhami banyak
sineas dunia baik untuk film cerita mau pun film dokumenter.
Ketiga film bersejarah karya DW Griffith, Sergei Eisenstein dan
Leni Riefenstahl, itu tidak hanya mampu merekam dan merekonstruksi sejarah
bangsa Amerika, Rusia, dan Jerman, tapi juga telah merevolusi teknik dan narasi
industri film dunia, serta menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah sinema.
Griffth, Eisenstein dan Riefenstahl tak hanya merekam dan merekonstruksi
sejarah dan kejayaan bangsanya, tapi juga sebagian besar melakukan
recreation/rekreasi alias menciptakan kembali sejumlah peristiwa yang pernah
terjadi. Terutama untuk peristiwa yang tidak memiliki arsip baik audio maupun
visual. Ketiga sineas itu, dengan caranya masing-masing, telah berusaha dan
berhasil menuturkan kembali apa yang sesungguhnya terjadi di negeri
masing-masing pada masa itu dan sebelumnya. Baik secara politis, kultural,
maupun militer.
Melalui kecanggihan teknologi, kafasihan bertutur, dan kerja
keras seluruh tim produksi, penonton diajak menyelami bagaimana sebuah bangsa
terbentuk, apa semangat yang mendasarinya, dan untuk apa mereka berbangsa dan
bernegara, serta mengapa karya-karya besar itu dibuat.
Mengingat The Birth of A Nation dibuat untuk kepentingan
komersial, dan October: Ten Days That Shook the World serta Triumph of the
Willdimaksudkan sebagai film propaganda oleh sponsornya, tak aneh bila mereka
mendapatkan dukungan dana dan fasilitas luar biasa pada masanya. Dampaknya pun
terasa mendunia dan tercatat dalam sejarah sampai sekarang.
Maka ketika kita mengetahui bahwa film Pantja-Sila: Cita-cita
& Realita, hanya digagas dan dibuat dengan serba terbatas oleh dua individu
yang nekad, keras kepala, dan tidak memikirkan pengembalian modal sama sekali,
banyak orang bertanya-tanya. Untuk apa dan mengapa Tyo Pakusadewo dan Tino Saroengallo
berusaha merekreasi Pidato Bung Karno tentang Pantja Sila, yang diusulkannya
sebagai landasan atau dasar bagi negara Indonesia Merdeka?
Tampaknya, kedua manusia nekad itu semata didorong oleh motivasi
dan keinginan kuat untuk mengingatkan kembali bangsa Indonesia, ihwal apa dan
bagaimana gagasan Bung Karno yang otentik tentang Pantja-Sila, saat ia digagas,
dilahirkan, dan disampaikan dalam sebuah orasi tanpa teks, sebelum disepakati
sebagai dasar negara, di hadapan sidang BPUPK (Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan) pada 1 Juni 1945.
Film yang terutama menampilkan sosok Bung Karno/Tyo Pakusadewo
dari awal hingga akhir, itu tidak semata dimaksudkan untuk menampilkan
keaktoran luar biasa dari seorang pemeran. Baik dalam menghafal teks,
melafalkan ungkapan pelagai bahasa asing, menafsirkan makna dialog, atau
membuat gesture dan mimik minimalis. Ia juga tidak semata menampilkan gambar
dengan kamera statis dan mengekspresikan narasi melalui aneka close-up
sebagaimana Griffith, tapi juga membuat editing dan footages serta metafora
seolah Eisenstein. Termasuk pemilihan warna dan kostum yang tak hanya ingin
mendekati fakta yang otentik, melainkan juga memberikan tafsiran ulang terhadap
warna merah dan putih, serta bingkai kaca dan jendela untuk membatasi fokus.
Fokus terhadap Pantja Sila. Fokus terhadap kata.
Ya. Benar sekali. Fokus film ini memang bukan pada dekor,
kostum, aspek sinematografi, tone warna, bahkan tidak juga pada aktor. Fokus
film ini hanyalah pada kata-kata, diksi, intonasi, dan intisari apa yang
diucapkan, dan apa yang digelorakan dalam setiap frasa dan parafrasa Bung Karno
dalam eksposenya. Teks yang dibunyikan oleh mulut sang aktorlah, yang menjadi
bintang dan tokoh utama film ini. Bukan yang lain.
Sehingga, usai menonton film ini, kita hanya bisa mengagumi
betapa dahsyatnya gagasan dan cara penyampaian Bung Karno ketika ia memaparkan
idee-nya tentang lima dasar negara. Bahkan tiga dasar. Termasuk satu dasar:
gotongroyong. Pada 1 Juni 1945, itu Bung Karno telah mampu meyakinkan semua
pihak bahwa kemerdekaan adalah yang utama, di sini dan sekarang, hic et nunc,
sementara urusan lain-lain bisa dibangun belakangan. Namun, untuk merdeka dan
membentuk sebuah negara, kita harus terlebih dulu memiliki Weltanschauung,
pandangan hidup, filosofi bangsa, ideologi negara, yang menjadi landasan bagi
apa saja yang kelak akan kita bangun, kita atur, dan kita laksanakan sebagai
sebuah bangsa yang berdaulat, setelah kita melewati jembatan emas yang disebut
"kemerdekaan." Sesuatu yang akhirnya, pada 1 Juni 2016, diakui Negara
sebagai Hari Lahirnya Pancasila.
Tino dan Tyo sebagai produser, sutradara, dan aktor, telah
menunjukkan kesungguhannya dalam me-rekreasi pidato yang sebelumnya tak pernah
direkam baik secara audio maupun visual itu. Beruntunglah mereka menemukan
salinan stenografi yang cukup otentik, yang mencatat setiap kata dari Bung
Karno di sidang BPUPK. Termasuk parafrase-nya yang sangat kuat dan merupakan
salah satu ciri pidato Bapak Pantja Sila itu di mana pun dan kapan pun.
Maka lupakanlah siapa Tyo siapa Tino dkk. Dua sosok utama yang
telah memproduksi film ini tanpa pretensi politik, agama, dan golongan apa pun.
Abaikanlah sehebat apa pun keberhasilan mereka dalam merekreasi pidato yang
sangat monumental dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Sebab, inilah sebuah
film yang patut ditayangkan di seluruh jaringan bioskop, televisi, dan radio
serta di pelbagai media sosial lainnya, pada setiap tanggal 1 Juni atau 17
Agustus.
Sehingga bangsa ini bisa tetap bersatu, merenungkan kembali
jatidirinya, melihat ulang landasannya, memperkokoh ideologinya, dan
mengembangkan visinya yang jauh ke depan, untuk mewujudkan apa yang
sesungguhnya harus dimiliki oleh sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat.
Bangsa yang tidak hanya telah dan harus selalu mengakui dan menghormati
perbedaan, tetapi juga bangsa yang harus dan senantiasa meyakini bahwa
keberagaman itu hanya punya satu kesamaan tujuan: menyejahterakan seluruh
rakyat Indonesia. Tanpa kecuali. Tak lain dan tak bukan. (***)
Noorca M. Massardi
pengarang/pewarta
pengarang/pewarta
Judul/Title: Pantja Sila: Cita-cita & Realita
Sutradara/Directed by: Tyo Pakusadewo
Produser/Produced by: Tino Saroengallo
Sutradara/Directed by: Tyo Pakusadewo
Produser/Produced by: Tino Saroengallo
https://www.facebook.com/noorca/posts/10217712558953893
No comments: